Sabtu, 31 Desember 2011

Kepingan baru

Menanti kepingan yang tepat untuk dipasang,

Esok hari adalah sesuatu yang baru, bahkan setiap detiknya adalah baru, tidak terpasung dengan glamor pesta tahun baru masehi yang dielu-elukan, karena setiap hembusan nafas adalah baru.

Sejatinya Allah selalu memberikan yang baru untuk kita, hanya saja seringkali kita membuat jejak lawas untuk menghiasi, jejak lawas yang menyesakkan, sehingga kita menanti moment baru yang terkadang tak berarti karena kelawasan kita yang itu-itu saja.

Barangsiapa yang mensyukuri nikmatNya, maka akan ditambah. Inilah pembaruan yang sejati, janji dari Yang tak pernah Mengingkari janji. Sebuah janji yang awalannya sering kita tertatih, namun sungguh datangnya adalah pasti.

Kamis, 22 Desember 2011

Memang, tidaklah mudah.

Malam-malam begini yang seharusnya saya lakukan adalah tidur, mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan beberapa "kewajiban" sebagai mahasiswa magang besok, tepatnya hari ini -pagi nanti- melirik jam sdh lewat tengah malam. Atau mungkin seharusnya saya mengerjakan beberapa laporan yang menjadi tanggungan selama kurang lebih 1 bulan ini. Ternyata saya lebih memilih untuk note walking ke salah satu temannya teman di FB. Saya geregetan ingin meng-like tapi tidak bisa karena kami tidak (tepatnya belum) berteman. Ada satu hal yang membuat saya tertarik untuk membaca setiap kalimatnya, apalagi kalau tidak membicarakan tentang keluarga dimana akan dimulai dengan tahapan kecil, suami-istri. Beberapa waktu belakangan ini hal tersebut menjadi isu utama dalam hidup saya -wah, curhat- ya, tentang pernikahan. Ada sebuah fase dimana terbilangnya umur saya saat ini dirasa -dinilai- sudah sebaiknya memasuki fase tersebut. Tidak dalam rangka mem-buru2-kan diri tetapi sesederhana ini, "memang sudah waktunya". Sudah waktunya itu sudah jatuh tempo, jika tidak maka akan tidak baik.


Beberapa hari terakhir saya berkunjung ke beberapa rumah dengan latar belakang urusan bisnis, setiap rumah tersebut mengajarkan saya banyak hal, Allah sangat paham apa yang harus saya pelajari tentang hal ini. Bahkan di rumah saya sendiri, hampir setiap waktu saya belajar tentang banyak hal, tentu dengan banyak hikmah yang terpapar tepat di hadapan saya, sadar ataupun tidak sadar. Menjalani sebuah fase berumahtangga itu tidaklah mudah, begitu yang saya dengar dari setiap orang yang bersedia berbagi ilmu dengan saya. Awalnya saya mengiyakan dengan kealpaan pengalaman dan tentu ilmu, tetapi memanglah tidak mudah, tidak mudah. Saya tidak sedang ingin men-sugesti diri sendiri bahwa hal tersebut akan dijalani dengan sulit, tetapi poin penting adalah di setiap ketidakmudahan itu Allah memegang kehendak untuk menjadikannya mudah bagi siapapun yang di kehendakiNya. Artinya kondisi tidak mudah itu ada, sejalan dengan kemudahan yang diberikanNya.  

Kesepakatan klasik, tetapi selalu terbaharui dengan cara-cara unik di setiap cahaya rumah yang berpendar, saling membantu antar suami-istri itu penting-harus-perlu, terserah kata mana yang kita pilih, pada intinya itu menjadi poin penting. Menyayangi atau mencintai itu dua cara, dikatakan dan dilakukan. Tak bisa tanpa salah satunya karena cinta akan menjadi pincang dan cacat (begitu buat saya). Jangan tanya harus mengatakannya dengan apa. 
Saya sedang ber-melow2 dengan situasi ini, kondisi yang sedang saya buat dengan kehendakNya. Apa yang saya lihat dan tulis telah menyudutkan saya seperti lampu minyak yang berada di sudut kamar, karena dengan begitu nyalanya akan menerangi seluruh kamar. Tersudut dengan berpandangan semakin luas. Menjadi mengerti setiap jengkal tembok yang di lewati cahaya.Tidak akan mudah galuh, dan Allah akan mudahkan, InsyaAllah.

Kalau pengalaman itu telah saya dapatkan, mungkin saya berani untuk menuliskannya detail disini, tetapi saat ini saya hanyalah penonton, bukan pemain. 

*Terimakasih, melihat kalian benar-benar menantang zona aman saya* 
(ditulis tanggal 20 Desember 2011, 1.00 am)

   

Selasa, 20 Desember 2011

katanya, saya cerdas.

Berbincang dengan seorang kawan, berpartner dengannya di sebuah tempat kerja praktek keprofesian saya, yang mengaku dirinya sedikit (?) nyinyir, manyak atau apapun istilahnya, mudahnya tukang komentar. Sepertinya saya pun begitu, tapi saya katakan dia lebih parah, hal ini hanya untuk menjaga martabat dan harga diri saya, waks.


Suatu hari dia berkata, "orang cerdas kalau nggak nulis ga akan dikenang sejarah, jangan tanya kenapa mesti dikenang sejarah."
Dari sini ada 2 poin yang saya tangkap, dia mengakui kalau saya cerdas, dan dia meramalkan nasib saya yang nggak akan dikenang sejarah. Begitulah kesimpulan akhir setiap kali dia menyuruh saya menulis dan membuat blog, dimana (dilarang menyanyi) saya hanya mengiyakan tanpa tindakan apapun, saya tersenyum simpul dan dia tersenyum kecut.


maka, katanya saya cerdas.
maka, jadilah saya menulis.

Pagar Diri

Ternyata salah satu yang membebani pundak psikis saya itu adalah saya nggak ndang membenahi blog saya yang saya tinggalkan beberapa tahun ke...