Merindu karpet merah yang tertatakan,
Merindu hangatnya rasa di saat dingin menusuk tulang raga,
Merindu udaranya merasuki relung kelahiran,
Merindu tetesan cahaya di saat kubah dibukakan,
Merindu harumnya surgawi di saat kaki berpijak di taman,
Merindu senyum sapa di kala pandangan saling berjabat,
Merindu lezatnya rasa saat butiran nasi disuapkan,
Merindu biru kalbu saat ayat dibacakan,
Merindu hingar bingar saudagar setelah salam diucapkan,
Merindu warna warni luapan sari ketika dilemparkan ke awan,
Merindu rasa ketika Real dibelanjakan, haha
Merindu gemuruh nafas ketika Uhud dipijakan,
Merindu manis ketika kurma sabilillah diberikan,
Merindu getaran saat Baqi' di hadapan,
Merindu luasnya pandangan saat kota dihamparkan,
Merindu perjalanan ketika situs dipaparkan,
Merindu takjub ketika kelu berkawan lisan,
Merindu isak tangis ketika berharap tak pernah terpisahkan,
Ah, Madinah.
Sabtu, 24 Maret 2012
Minggu, 04 Maret 2012
Do not take it, it's mine.
Jadilah teratai, dimana akan tetap indah walau air di bawahnya keruh dan kotor.
Bagaimana kalau terlalu banyak orang baik di sekitar kita sementara kita terpaku pada satu tempat? Kita gak akan mau disebut menjadi air keruhnya sedangkan oranglain yang menjadi teratai. No thanks.
Melayangkan pandangan mata, berderet orang hebat yang Allah sediakan dalam hidup kita, jauh maupun dekat, Allah yang menguasai jarak dan waktu. Berderet pula kemudahan untuk menghampiri mereka bahkan ke rumahnya sekalipun. Lihatlah, mereka menunggu meluberkan lautan ilmunya kepada kita. Yang sudah dekat, bersyukurlah, karena begitu mudah berjabat dengan mereka. Yang masih jauh, bersyukurlah, karena Allah sediakan jarak sebagai penghitung langkah-langkah kecil kita. Biar langkahnya kecil tapi besarkan mimpi.
Membuat langkah baru itu capek, tapi capeknya capek enak.
Menghilangkan kecemasan itu bikin cemas, tapi cemasnya melegakan.
Move on honey, we have to move on. Just move, even one step then we feel that we need the next step. And we will run, so fast. InsyaAllah.
Bagaimana kalau terlalu banyak orang baik di sekitar kita sementara kita terpaku pada satu tempat? Kita gak akan mau disebut menjadi air keruhnya sedangkan oranglain yang menjadi teratai. No thanks.
Melayangkan pandangan mata, berderet orang hebat yang Allah sediakan dalam hidup kita, jauh maupun dekat, Allah yang menguasai jarak dan waktu. Berderet pula kemudahan untuk menghampiri mereka bahkan ke rumahnya sekalipun. Lihatlah, mereka menunggu meluberkan lautan ilmunya kepada kita. Yang sudah dekat, bersyukurlah, karena begitu mudah berjabat dengan mereka. Yang masih jauh, bersyukurlah, karena Allah sediakan jarak sebagai penghitung langkah-langkah kecil kita. Biar langkahnya kecil tapi besarkan mimpi.
Membuat langkah baru itu capek, tapi capeknya capek enak.
Menghilangkan kecemasan itu bikin cemas, tapi cemasnya melegakan.
Move on honey, we have to move on. Just move, even one step then we feel that we need the next step. And we will run, so fast. InsyaAllah.
Sabtu, 03 Maret 2012
Bijak diri.
Ada petunjuk ketika Ia menghendaki menuangkannya di danau hati. MengenalNya tentu membutuhkan waktu untuk ditorehkan dalam hati dengan segala biru-pilu, merah-segar dan kuning-riang cobaan. Bertubi lelah membuat hati merindu rehat sejenak. Namun ketika Ia berkehendak segalanya menjadi nyata, bahwa segala keinginan hati terkadang jauh dari maksudNya dan kita sebetulnya ingin diluruskan.
Menyapa embun di kaca pagi ketika nafas terpenuhi dinginnya udara, uap siang sentuhan sinar matahari mengingat waktu ada dalam kuasaNya. Siapa kita ketika hendak memerintah sore cepat berganti malam agar rehat didapat segera, lagi.
Tak heran berlari tanpa ada jarak yang terlangkahi jika berlari di tempat menjadi ritme hidup usia dini. Tak pantaslah mencari yang pasti ketika langkah sudah jelas tidak pasti. Aku di sini seorang diri menyapa hadir mimpi menggenggam ujung harap ketika seolah terbang meninggi. Siapa lah aku memerintah malam berganti pagi hanya untuk membuahkan berkeping mimpi-mimpi.
Kalaupun pekat itu semakin terasa hanya Ia yang mampu menguraikan. Tak boleh merasa lelah memandang ketika menyapa layangan mimpi yang terkadang benang gelasnya tajam melukai. Toh obat selalu ada di kotak saat dicari, saat Ia kehendaki.
Menyapa embun di kaca pagi ketika nafas terpenuhi dinginnya udara, uap siang sentuhan sinar matahari mengingat waktu ada dalam kuasaNya. Siapa kita ketika hendak memerintah sore cepat berganti malam agar rehat didapat segera, lagi.
Tak heran berlari tanpa ada jarak yang terlangkahi jika berlari di tempat menjadi ritme hidup usia dini. Tak pantaslah mencari yang pasti ketika langkah sudah jelas tidak pasti. Aku di sini seorang diri menyapa hadir mimpi menggenggam ujung harap ketika seolah terbang meninggi. Siapa lah aku memerintah malam berganti pagi hanya untuk membuahkan berkeping mimpi-mimpi.
Kalaupun pekat itu semakin terasa hanya Ia yang mampu menguraikan. Tak boleh merasa lelah memandang ketika menyapa layangan mimpi yang terkadang benang gelasnya tajam melukai. Toh obat selalu ada di kotak saat dicari, saat Ia kehendaki.
Jumat, 02 Maret 2012
10 tahun lagi : ayah pulang.
Beberapa minggu ini saya sedang menempuh akhir dari semester 3 di profesi, mendapat giliran kerja praktek di sebuah sekolah swasta di Malang. Saya yang hanya sebagai mahasiswa praktek mulai "mencintai" satu persatu murid yang ada di sana, pas sekali saat jatah-jatah praktek saya telah usai, selalu deh.
Ada satu kelas dimana saya tertarik untuk memberikan beberapa perlakuan karena keunikan yang mereka punya, selalu ramai saat guru menerangkan. Bukan hanya ramai yang wajar tetapi saya yang seringkali masuk dan membantu beberapa ABK (anak berkebutuhan khusus) untuk belajar terkadang ikutan "emosi" karena ramainya bukan main. Lama kelamaan saya mulai terbiasa dan mengetahui trik menghadapi mereka.
Suatu saat saya memberikan lembar tentang "merencanakan masa depan 10 tahun lagi" kepada mereka. Seperti biasa saat memberi instruksi saya harus mengulang beberapa kali karena pertanyaan yang sama datang bertubi-tubi, akibat dari keramaian mereka sendiri. Saat mereka mengisi lembaran mereka masing-masing, saya mulai mendatangi bangku-bangku sesuai penggilan pertanyaan mereka, mulai dari menanggapi apakah jawaban mereka betul atau bagaimana cara mengisi kolom yang ini, yang itu, atau sekedar mengecek apakah mereka benar-benar sedang mengerjakan tugas yang saya beri. Di satu bangku ada yang bertanya tentang bagaimana menuliskan langkah-langkah untuk mencapai cita-citanya. Saya baca, dan tulisan itu memaksa saya untuk terdiam sebelum mengomentariya, tenggorokan saya susah sekali menelan ludah saat itu. Sungguh.
tertulis,
Cita-cita 10 tahun lagi : membawa ayah pulang.
Yang saya tau siswa tersebut memang sudah tidak lagi memiliki ayah, yang saya tau ayahnya meninggal saat ia kecil, tapi nyatanya saya salah. Ia menaruh cita-cita itu di urutan pertama dari apa yang ingin ia capai dalam hidupnya, saya kira saya akan menemukan cita-cita wajar dari seorang anak kelas 1 SMP, menjadi atlet, pengusaha, pemilik butik, pemain sepak bola, dll. Tapi sungguh, saya hanya ingin meneteskan air mata, satu teteees saja.. *tahan galuuuh*.
Okay, dengan sangat hati-hati, mengatur intonasi, saya memberikan perkiraan langkah-langkah yang bisa ia lakukan untuk cita-citanya itu.
Keesokan harinya, saya sedang duduk terdiam di kelas itu sambil menunggu mereka selesai istirahat, tiba-tiba siswa yang merindu ayahnya itu berdiri dan bermain sendiri di sebelah kursi saya, tumben. Saya hanya bersyukur bahwa saya menemukan kesempatan untuk bicara berdua dengannya, it's my time, thanks Robb.
Ayah meninggalkannya tanpa alasan sejak ia kecil, bahkan ia mengaku tak pernah bertemu ayahnya. Ia hanya tau ayahnya berada di Jakarta, bekerja. Entah di belahan Jakarta sebelah mana, bekerja sebagai apa, ia tak tahu.
Allah, salah satu yang menjadi hak Mu atas hamba-hamba ini adalah kami mensyukuri nikmatMu.
Sehebat apapun saya berkonflik dengan ayah atau ibu, atau mungkin keduanya, Allah mengingatkan saya untuk terus tersungkur bersyukur atas kelengkapan yang saya punya.
Percikan itu masih ada, detakan itu masih terasa, saya masih menyimpan, mengganjal di sini.
Tapi Allah berfirman, " fabiayyi 'alaa irobbikuma tukadzdzibaan".
Hati saya lunglai diam di tempatnya, ini kewajiban saya.
Ada satu kelas dimana saya tertarik untuk memberikan beberapa perlakuan karena keunikan yang mereka punya, selalu ramai saat guru menerangkan. Bukan hanya ramai yang wajar tetapi saya yang seringkali masuk dan membantu beberapa ABK (anak berkebutuhan khusus) untuk belajar terkadang ikutan "emosi" karena ramainya bukan main. Lama kelamaan saya mulai terbiasa dan mengetahui trik menghadapi mereka.
Suatu saat saya memberikan lembar tentang "merencanakan masa depan 10 tahun lagi" kepada mereka. Seperti biasa saat memberi instruksi saya harus mengulang beberapa kali karena pertanyaan yang sama datang bertubi-tubi, akibat dari keramaian mereka sendiri. Saat mereka mengisi lembaran mereka masing-masing, saya mulai mendatangi bangku-bangku sesuai penggilan pertanyaan mereka, mulai dari menanggapi apakah jawaban mereka betul atau bagaimana cara mengisi kolom yang ini, yang itu, atau sekedar mengecek apakah mereka benar-benar sedang mengerjakan tugas yang saya beri. Di satu bangku ada yang bertanya tentang bagaimana menuliskan langkah-langkah untuk mencapai cita-citanya. Saya baca, dan tulisan itu memaksa saya untuk terdiam sebelum mengomentariya, tenggorokan saya susah sekali menelan ludah saat itu. Sungguh.
tertulis,
Cita-cita 10 tahun lagi : membawa ayah pulang.
Yang saya tau siswa tersebut memang sudah tidak lagi memiliki ayah, yang saya tau ayahnya meninggal saat ia kecil, tapi nyatanya saya salah. Ia menaruh cita-cita itu di urutan pertama dari apa yang ingin ia capai dalam hidupnya, saya kira saya akan menemukan cita-cita wajar dari seorang anak kelas 1 SMP, menjadi atlet, pengusaha, pemilik butik, pemain sepak bola, dll. Tapi sungguh, saya hanya ingin meneteskan air mata, satu teteees saja.. *tahan galuuuh*.
Okay, dengan sangat hati-hati, mengatur intonasi, saya memberikan perkiraan langkah-langkah yang bisa ia lakukan untuk cita-citanya itu.
Keesokan harinya, saya sedang duduk terdiam di kelas itu sambil menunggu mereka selesai istirahat, tiba-tiba siswa yang merindu ayahnya itu berdiri dan bermain sendiri di sebelah kursi saya, tumben. Saya hanya bersyukur bahwa saya menemukan kesempatan untuk bicara berdua dengannya, it's my time, thanks Robb.
Ayah meninggalkannya tanpa alasan sejak ia kecil, bahkan ia mengaku tak pernah bertemu ayahnya. Ia hanya tau ayahnya berada di Jakarta, bekerja. Entah di belahan Jakarta sebelah mana, bekerja sebagai apa, ia tak tahu.
Allah, salah satu yang menjadi hak Mu atas hamba-hamba ini adalah kami mensyukuri nikmatMu.
Sehebat apapun saya berkonflik dengan ayah atau ibu, atau mungkin keduanya, Allah mengingatkan saya untuk terus tersungkur bersyukur atas kelengkapan yang saya punya.
Percikan itu masih ada, detakan itu masih terasa, saya masih menyimpan, mengganjal di sini.
Tapi Allah berfirman, " fabiayyi 'alaa irobbikuma tukadzdzibaan".
Hati saya lunglai diam di tempatnya, ini kewajiban saya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Pagar Diri
Ternyata salah satu yang membebani pundak psikis saya itu adalah saya nggak ndang membenahi blog saya yang saya tinggalkan beberapa tahun ke...
-
Sejak sebelum Ramadhan tahun ini, Malang berasa dingiiiiin banget...sampai sekarang masiih, masyaAllah.. Bulan juli-agustus memang sudah m...
-
Bismillah, Terbilang lumayan lama saya tidak menulis, banyak hal yang melatarbelakanginya, salah satunya karena saya merasa sangat malu. ...
-
Berbincang dengan seorang kawan, berpartner dengannya di sebuah tempat kerja praktek keprofesian saya, yang mengaku dirinya sedikit (?) nyin...