Jumat, 02 Maret 2012

10 tahun lagi : ayah pulang.

Beberapa minggu ini saya sedang menempuh akhir dari semester 3 di profesi, mendapat giliran kerja praktek di sebuah sekolah swasta di Malang. Saya yang hanya sebagai mahasiswa praktek mulai "mencintai" satu persatu murid yang ada di sana, pas sekali saat jatah-jatah praktek saya telah usai, selalu deh.

Ada satu kelas dimana saya tertarik untuk memberikan beberapa perlakuan karena keunikan yang mereka punya, selalu ramai saat guru menerangkan. Bukan hanya ramai yang wajar tetapi saya yang seringkali masuk dan membantu beberapa ABK (anak berkebutuhan khusus) untuk belajar terkadang ikutan "emosi" karena ramainya bukan main. Lama kelamaan saya mulai terbiasa dan mengetahui trik menghadapi mereka.

Suatu saat saya memberikan lembar tentang "merencanakan masa depan 10 tahun lagi" kepada mereka. Seperti biasa saat memberi instruksi saya harus mengulang beberapa kali karena pertanyaan yang sama datang bertubi-tubi, akibat dari keramaian mereka sendiri. Saat mereka mengisi lembaran mereka masing-masing, saya mulai mendatangi bangku-bangku sesuai penggilan pertanyaan mereka, mulai dari menanggapi apakah jawaban mereka betul atau bagaimana cara mengisi kolom yang ini, yang itu, atau sekedar mengecek apakah mereka benar-benar sedang mengerjakan tugas yang saya beri. Di satu bangku ada yang bertanya tentang bagaimana menuliskan langkah-langkah untuk mencapai cita-citanya. Saya baca, dan tulisan itu memaksa saya untuk terdiam sebelum mengomentariya, tenggorokan saya susah sekali menelan ludah saat itu. Sungguh.

tertulis,

Cita-cita 10 tahun lagi : membawa ayah pulang.


Yang saya tau siswa tersebut memang sudah tidak lagi memiliki ayah, yang saya tau ayahnya meninggal saat ia kecil, tapi nyatanya saya salah. Ia menaruh cita-cita itu di urutan pertama dari apa yang ingin ia capai dalam hidupnya, saya kira saya akan menemukan cita-cita wajar dari seorang anak kelas 1 SMP, menjadi atlet, pengusaha, pemilik butik, pemain sepak bola, dll. Tapi sungguh, saya hanya ingin meneteskan air mata, satu teteees saja.. *tahan galuuuh*.

Okay, dengan sangat hati-hati, mengatur intonasi, saya memberikan perkiraan langkah-langkah yang bisa ia lakukan untuk cita-citanya itu.
Keesokan harinya, saya sedang duduk terdiam di kelas itu sambil menunggu mereka selesai istirahat, tiba-tiba siswa yang merindu ayahnya itu berdiri dan bermain sendiri di sebelah kursi saya, tumben. Saya hanya bersyukur bahwa saya menemukan kesempatan untuk bicara berdua dengannya, it's my time, thanks Robb.
Ayah meninggalkannya tanpa alasan sejak ia kecil, bahkan ia mengaku tak pernah bertemu ayahnya. Ia hanya tau ayahnya berada di Jakarta, bekerja. Entah di belahan Jakarta sebelah mana, bekerja sebagai apa, ia tak tahu.

Allah, salah satu yang menjadi hak Mu atas hamba-hamba ini adalah kami mensyukuri nikmatMu.
Sehebat apapun saya berkonflik dengan ayah atau ibu, atau mungkin keduanya, Allah mengingatkan saya untuk terus tersungkur bersyukur atas kelengkapan yang saya punya.

Percikan itu masih ada, detakan itu masih terasa, saya masih menyimpan, mengganjal di sini.
Tapi Allah berfirman, " fabiayyi 'alaa irobbikuma tukadzdzibaan". 
Hati saya lunglai diam di tempatnya, ini kewajiban saya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pagar Diri

Ternyata salah satu yang membebani pundak psikis saya itu adalah saya nggak ndang membenahi blog saya yang saya tinggalkan beberapa tahun ke...